Kamis, 19 November 2009

Pendidik dan Pengajar

Hal ini aku pelajari ketika aku berada di sekolah... duduk bukan sebagai murid tapi sebagai seorang guru. Sebenarnya selama ini aku tidak menyadari perbedaan ini sampai seorang teman MEMBUAT aku belajar untuk melihat hal tersebut.

Aku masuk ke sebuah kelas dengan seorang guru yang menjelaskan pelajaran dengan seadanya di depan dan 2 orang guru lain sebagai pendamping. Salah satu dari mereka hanya duduk di depan di panggung bawah papan tulis sambil sibuk dengan pekerjaannya sendiri, memeriksa tugas anak. Sedangkan yang lain asik menemani seorang anak yang tidak mau bergabung dengan teman lainnya karena merasa tidak nyambung dengan anak-anak lain dan ketakutan dengan guru utama.

Aku mendekati anak tersebut dan mulai mengajak dia "bermain" sambil dia terus mengerjakan tugas mewarnai dari sang guru.
"yang ini masih ada putih-putihnya, ayo kita warnai sampai penuh yuks.."
"miss.. bantu, aku yang ini, aku yang ini", kata si anak sambil menunjukkan gambar yang harus diwarnai. Tak ada yang salah pada anak ini, tapi kenapa ia tidak mau bergabung dengan yang lain atau mendekati guru utama?
"miss.. cici X(ngak boleh sebut nama, kode etik) mana? lagi minum di kantin ya?", tanya si anak dengan muka yang seperti hampir menangis
Aku bingung dengan pertanyaannya, tapi aku mengiyakan supaya ia merasa tenang.
"miss, masih lama ga? udah mau pulang belum?", tanya si anak lagi
"bentar lagi ya, abis makan siang, trus kita menulis lagi, baru dhe pulang. bentar ya" aku menjawabnya sepengetahuanku tentang peraturan sekolah yang ada.
"miss, cici X (orang yang sama dengan yang pertama kali ia tanyakan) kok lama?
Masih dalam kebingunganku, guru pendampingnya datang dan menjawab, "cici X kan abis minum, mau pipis, jadi lama" katanya. dan anak kembali tenang
Lalu aku bertanya siapa cici X pada guru tersebut. ternyata cici X adalah orang yang biasa menjemputnya.

Sepenggal kisah pendek tadi memperlihatkan ketakutan seorang anak dan ketidaknyamanan ketika berada di sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan dan tempat ia belajar bersosialisasi.
Setelah aku selidiki, ternyata anak takut pada gurunya yang sering marah-marah dengan membentak.

Anak-anak ini bukan anak usia belasan, mereka hanya balita, yang karena tuntutan jaman membuat mereka "harus" bersekolah di usia dimana mereka harusnya masih bermain.Jikapun harus sekolah, seharusnya sekolah menjadi sesuatu yang menyenangkan buat mereka, bukan sesuatu yang menakutkan. Guru pun menjadi lupa kalau mereka adalah pendidik dan bukan sekedar pengajar. Jika anak gagal melakukan yang diajarkan, maka guru akan marah dan korbannya adalah anak. Kemarahan yang mungkin hanya luapan emosi tersebut berakibat trauma pada anak. Ia tidak lagi mendidik anaknya untuk menjadi seorang yang berjuang tapi menjadi robot yang harus bisa melakukan semua yang diajarkan dengan benar.

Ketika seorang guru tidak menyadari hal tersebut, maka jadilah guru hanya mengajar dan tidak mendidik. Mengajar untuk mendapatkan penghasilan, memenuhi waktu kosong, menampilkan dirinya, atau sejumlah alasan lainnya. Mereka lupa kalau mereka seharusnya mendidik anak-anak ini menjadi anak-anak yang terus berjuang untuk menjadi terbaik yang ada dalam diri mereka dan merasa nyaman dengan keberadaan diri mereka, menjadi teladan yang baik bagi anak-anak. Terkadang anak dimarahi tanpa ada penjelasan dan tentu saja hal ini membuat anak semakin minder.

OMG, kemana pendidik? Kemana pahlawan tanpa tanda jasa tersebut?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar