Selasa, 26 Februari 2019

Part III

Aku tahu aku yang seringkali moody, kadang aku tidak keberatan dan bisa memaklumi kelakuan yang aku tidak pahami, dan terkadang aku benar-benar menjadi kesal dan marah dengan hal-hal yang aku anggap tidak penting tapi dibuat seolah-olah sangat besar.

Hanya karena terlambat 5 menit dari waktu janjian, aku bisa marah besar tapi terkadang terlambat sampai satu jam pun aku biasa saja.
Aku tahu dia bingung menghadapiku dan terkadang frustasi. Kalau aku diam saja, dia akan terus bertanya dan aku jadi sebel dengannya. Kalau dia diam, aku marah karena kuanggap dia tidak peduli padaku.

Ya aku tahu aku terkadang menjadi wanita yang sulit. Semakin matang usiaku, semakin aku mandiri, semakin aku tidak peduli dengan semua aturan dan sangat pemilih.

"Kamu ga akan ketemu orang yang benar-benar seperti yang kamu pikirkan, Ri", kata ci Ani padaku."Aku sudah menikah lebih dari 10 tahun dan tetap saja banyak yang tidak cocok dengan suamiku, pacaran kami juga lama, tetap saja saya belum bisa memahami dia sepenuhnya. sering berantem, tapi ya untungnya sih dia lebih cuek ya jadi ga sampai ribut besar. Menikah itu adalah proses penyesuaian seumur hidup".

Aku hanya tersenyum. Aku tahu semua teori itu. Aku bukan mencari lelaki impian yang sempurna tetapi aku selalu percaya kalau ada orang yang tepat yang Tuhan siapkan buatku. Bukan yang sempurna tapi yang TEPAT.

Jawaban yang sama yang saya berikan kepada semua orang jika ditanya kenapa aku masih sendiri, "Untuk apa menikah kalau sendiri pun aku bahagia, dan saat ini sepertinya memang tidak harus punya pasangan untuk menjalani hidupku

"Ri, kamu cari apa lagi? Bukannya dia sudah memenuhi semua ceklist yang kamu doakan? Kenapa masih ragu? Dia terus tanya ke aku kapan waktu yang tepat untuk bicara sama kamu dan kira-kira tanggapan kamu seperti apa. Aku bingung, Ri ada di tengah-tengah hubungan kalian". Kata Mila.

"Kenapa dia tanyanya ke kamu? Kenapa tidak tanya langsung ke aku?"
"Dia juga sepertinya merasakan keraguan kamu, tapi mau berusaha membuat semuanya sesuai yang kamu inginkan. Dia pengen buat kamu happy, Ri. Can't you see that?" Mila masih bersikeras.

"Aku bingung, Mil. Aku bahagia bersama dia, tapi aku tidak yakin bisa membuat dia bahagia. Aku takut gagal lagi dan kecewa lagi. Aku merasa mampu kok menjalani hidupku sendiri dan sepertinya aku baik-baik saja kalau sendiri."

"Ri.. Gw bisa melihat kebahagiaan kalian sewaktu kalian bersama. Dia sayang sama kamu dan kalian pun selalu mengusahakan hubungan kalian. Gw tahu kalian cocok satu sama lain. Kamu juga banyak berubah kok, Ri, setelah sama dia. Lagian kamu butuh teman hidup, Ri buat jalanin hari-hari kamu."

Aku diam mendengarkan Mila berusaha meyakinkanku.
Beberapa hari ini aku memang menghindari dia untuk bertemu langsung. Hanya chat dan telepon saja seperti biasa dan tidak pernah panjang. Mungkin dia merasa aku ragu karena sikapku akhir-akhir ini.
Semua karena aku tahu kalau dia mulai merencanakan untuk melamarku.

"Aku ga mau dia kasih surprise sebelum kami bicara dan yakin kalau kami benar-benar siap." kataku.

"Masalah kalian itu sebenarnya cuma masalah komunikasi aja. Dia takut kamu ga bahagia dan kamu takut dia ga bahagia karena kelakuanmu. Pusing aku menghadapi kalian. Saling cocok tapi mencari-cari ketidakcocokan." Kata Mila dengan nada kesal.

Sampai saat ini hanya 1 kalimat yang tepat bisa membuat aku tenang dan tidak berdebat dengan logikaku. Dan kalau dia berasal dari Tuhan, dia pasti sudah Tuhan "bisikkan" kalimat itu buatku dan aku tahu dia berasal dari Tuhan. Dan ini yang membuat aku ragu.. dia tidak menggunakan kalimat itu. Tidak atau Belum?? Entah ujian ini akan sampai kapan baru selesai.

Kamis, 14 Februari 2019

Part II

Perkenalan kami dimulai dengan cara yang sangat aku benci yaitu lewat chat.
Aku benci kenalan lewat chat karena aku pernah terluka dan aku tahu aku tidak bisa akan lupa setiap detail kejadian penyebab luka itu. Tidak akan pernah.

"Aku cuma iseng aja kok. Kelamaan sendiri kadang kan bosan. Walaupun banyak kerjaan dan ada kalian yang selalu ada buat aku, tapi kan aku juga ingin sekali-sekali diperhatiin dengan cara yang berbeda sama orang lain.." terangku saat menceritakan keisenganku membuka web mencari pasangan ke sahabat-sahabatku.

"Ga kapok kamu sama kejadian dulu?" Tanya Mila.
"Aku cuma iseng aja.. ga akan ada juga akan seriusan. Iseng aja. Ga perlu serius-serius banget deh." Jawabku
"Kita cuma ga mau kamu diboongin lagi dan mengulang kesalahan yang sama. Get real lah, Ri. Keluar, bersosialisasi, jangan cuma main sama anak-anak muda di gereja kamu aja. You deserve your own life." Kata Yuli.

Entahlah..aku sudah tidak terpikir lagi untuk mencari kemana-mana. Usiaku sudah tidak muda dan aku memang tidak suka untuk pergi ke keramaian. Aku memang memilih untuk melayani anak-anak muda. Aku melewatkan masaku dulu dan aku tidak mau mereka juga melewatkan masa mereka.

" Kalau beneran ada yang mau serius gimana?" tanya Wildy.
" Bagus lah.. berarti aku ga akan sendiri lagi" jawabku ringan, "Lagian ga akan ada yang berani serius karena aku akan bilang kalau aku cari suami. Mereka pasti kabur kalau diajak serius.. seribu alasan. Tenang aja.. cuma main-main aja."

"Ri, kamu kenapa aneh banget sih.. kamu pengen punya hubungan serius tapi kalau ada yang beneran mau serius kamu ga yakin?" Tanya Wildy. "Kamu mau punya pasangan, tapi kamu meyakini kalau semua yang kamu lakukan cuma iseng. Kamu yang ajarin kita bahwa apa yang kamu pikirkan itu yang akan terjadi."

Aku menarik nafas dalam-dalam. Mungkin aku memang benar salah. Aku selalu memulai dengan ketidak seriusan, maka akhirnya ga pernah jadi serius. Aku tidak yakin dari awal, cuma ingin iseng dan main-main saja, makanya akhirnya pun cuma main saja.

Entahlah...
Kejadian lama terlalu menyakitkan dan sampai saat ini rasa itu tidak bisa hilang dan membuatku selalu ragu. Terbayang jika kegagalan itu terulang dan rasa sakit itu kembali lagi padahal sudah aku coba lupakan. Apa aku benar belum memaafkan? Tiap malam aku berdoa meminta supaya aku mampu memaafkan dan menjalani dengan ikhlas, tapi kenapa setiap kali melangkah masuk ke sana, rasanya sulit.