Selasa, 11 Desember 2018

Part I


Semua berawal dari perhatian sederhana yang tidak pernah aku gubris dan selalu aku sepelekan. Tapi perhatian sederhana itu yang membuat aku jatuh cinta.
"Kamu lagi apa?"
"Kamu sudah makan, belum?"
Dan selalu kujawab dengan ketus, "Ya kerja lah, masa main-main di kantor. Sudah jangan ganggu aku. Aku mau kerja lagi. Kalau lapar aku pasti makan kok".
Kalimat yang sama setiap hari tanpa bosan dan tidak ada inisiatif untuk mengubahnya meski selalu diomelin dan dikasih tahu untuk tanya yang lain. Dari yang awalnya kujawab dengan ketus, lama-lama kujawab dengan nada yang lebih lembut sambil tersenyum dengan jawaban yang sama.
Dan lama-kelamaan, perhatian itu selalu aku tunggu. Sehari saja aku tidak mendengar bunyi teleponku, yang dengan sengaja aku beri nada dering yang berbeda, aku mulai merasa kuatir. Aku menjadi uring-uringan. Aku merindukan suara di ujung telepon sana yang selalu sabar meski aku marah-marah. Suara yang dengan ajaib bisa membuatku tenang.
Aku yang terbiasa tegas dan tidak basa basi merindukan kalimat yang terkesan basa-basi itu. Lingkungan kerja yang cepat membuatku tidak suka dengan hal yang bertele-tele, tapi sekarang aku suka kalau dia bercerita panjang yang tidak ada urusannya denganku.
Dia yang sederhana bisa membuatku seperti bukan diriku yang selalu dikenal jutek. Mungkin karena aku menangkap kalau dia tidak ada niat berbasa-basi tapi memang begitulah cara perhatiannya.
Tiba-tiba terbersit dalam pikiranku, apakah aku sanggup menghabiskan sisa hidupku dengan pria ini setiap harinya? Entahlah.. rasa kuatir itu muncul karena aku selalu berpikir kalau aku orang yang takut berkomitmen. Aku ragu kalau aku sanggup menyesuaikan diriku jika sudah serumah dan melihat kelakuannya yang seperti itu. SETIAP HARI. Bukan sejam atau dua jam. SEUMUR HIDUP. Bukan sehari atau ketika Sabtu dan Minggu saja. Aku ragu pada diriku sendiri. Entahkah aku sanggup membayangkan ada orang lain yang akan berada di sampingku saat aku bangun, orang yang akan selalu ada di rumahku dan tidak boleh aku acuhkan. Aku takut, tapi aku juga tidak rela melepaskannya.
Dan kemudian aku tersadar.. apa yang sedang aku lakukan? Aku berpikir terlalu jauh. Dia bahkan tidak melamarku. Dia hanya senang berbicara denganku, sama seperti yang lainnya pun begitu.
Ya selalu begitu. "Berapa banyak lelaki yang sudah lalu lalang dalam hidupmu tapi tidak ada yang benar-benar berlabuh karena kamu hanya jadi persinggahan yang menyenangkan, tapi bukan tempat untuk menetap". Itu yang selalu dikatakan oleh hati kecilku. Aku saja yang terlalu percaya diri kalau dia akan melamarku, hanya karena teman-teman yang terus meyakinkanku.
"Bener, Ri. Suwer deh. Aku ditanyain soal your dream wedding berjam-jam dan detail banget. Your Wedding, Ri... Apalagi coba kalau bukan dia mau melamar kamu. Nyebelin banget sama detailnya dia.. sampai masalah warna lampu juga ditanya. Yet, I'm happy karena itu tandanya dia peduli sama apa yang kamu suka", kata Mila berusaha meyakinkanku.
"Iya, Ri. Apalagi sih yang kamu tunggu.. mana ada sih cowo yang mau lakuin hal-hal gila yang suka kamu minta ke dia kalau bukan karena dia sayang sama kamu", timpal Wildy.
"Iya.. tapi tetap saja, dia tidak bilang ke aku", bela ku.
"Kalau dia bilang, memang kamu akan jawab iya?" Tanya Yuli dengan polos.
Aku terdiam. Kembali pikiran tentang menghabiskan hidup bersama dia terlintas. Aku menghela nafas dalam- dalam.

Rabu, 05 Desember 2018

Desember 2018

Sudah di penghujung tahun, Desember 2018.
Lama tidak menulis dan sekarang mendadak punya waktu dan ingin menulis.

3 bulan terakhir ini sibuk mempersiapkan natal. 
Di awal-awal masih bersemanagat membuat skrip drama, lalu pilih pemain
Namun, ketika memasuki masa latihan, aku mulai frustasi. Semua orang selalu punya alasan untuk tidak bisa latihan. Komitmen pun mulai turun, bahkan panitia utama juga selalu ada alasan untuk tidak menyelesaikan tugas. Berakhir dengan kerja sendiri. Sebenarnya aku lebih suka bekerja sendiri, karena semua hal dibawah kendali saya. Karena event natal ini sangat besar, aku tidak bia mengerjakan sendiri dan stress sendiri.

Stress kerja tambah stress pelayanan membuat aku semakin ga karu-karuan. Setiap hal yang iritate, membuat aku marah dan kesal. Korbannya pasti orang terdekat. Sampai aku curhat dan nangis ke mentorku. Aku sebenarnya paling tidak suka curhat, tapi karena beban sudah terlalu menumpuk dan aku tidak tahan lagi. Tapi yang namanya cowo memang paling ga bisa dijadiin tempat curhat, malah dikasih banyak ceramah. Akhirnya acara KEF yang menjadi tempat aku menemukan jawaban pergumulanku.

Sekarang ini ku lebih ringan menjalani pekerjaanku. Aku tidak mau mengambil pusing lagi semua hal yang memang di luar kendaliku. Aku memilih mengerjakan bagianku dengan maksimal dan perlahan-lahan, satu per satu pekerjaan terselesaikan dengan baik. Meski banyak hal yang di luar harapan, aku tutup mata dan tidak mau memusingkan. Jika memang itu yang Tuhan kehendaki, then be it.

Setiap hal yang menyebalkan, aku tidak mau pedulikan lagi. Jika memang tidak mau diajarkan  dn diberitahu, ya sudah. Aku tidak mau mengurusi. Aku kerjakan bagianku, keputusan dan resiko serta akibatnya adalah bagiannya. Aku belajar bahwa tidak semua hal bisa saya kendalikan dan tidak semua orang ada pada level pemikiran yang sama, maka tidak bisa dipaksakan dan tidak perlu dimasukkan ke hati.


Baru-baru ini, aku baru saja ikut rapat kerja.
Setelah selesai rapat kerja itu, aku mulai terpikir untuk berhenti dari jabatanku dan mulai mengerjakan sesuatu tanpa terikat struktur. Aku tidak leluasa dan merasa tidak maksimal mengerjakan visiku. Ada di dalam satu komunitas membuat kamu "gatal" untuk ikut terlibat dalam hal lain yang sebenarnya bukan bagianmu. Jika aku ada di luar struktur, lebih mudah buatku memberikan kritik dan saran tanpa dianggp ikut campur padahal divisi sendiri juga masih berantakan.

Aku semakin menyadari kalau aku tidak bisa terikat.. selalu ingin bebas.
Semoga ini tidak berlaku di pernikahanku.. amit-amit.