Semua berawal dari perhatian
sederhana yang tidak pernah aku gubris dan selalu aku sepelekan. Tapi perhatian
sederhana itu yang membuat aku jatuh cinta.
"Kamu lagi apa?"
"Kamu sudah makan, belum?"
Dan selalu kujawab dengan ketus,
"Ya kerja lah, masa main-main di kantor. Sudah jangan ganggu aku. Aku mau
kerja lagi. Kalau lapar aku pasti makan kok".
Kalimat yang sama setiap hari
tanpa bosan dan tidak ada inisiatif untuk mengubahnya meski selalu diomelin dan
dikasih tahu untuk tanya yang lain. Dari yang awalnya kujawab dengan ketus,
lama-lama kujawab dengan nada yang lebih lembut sambil tersenyum dengan jawaban
yang sama.
Dan lama-kelamaan, perhatian itu
selalu aku tunggu. Sehari saja aku tidak mendengar bunyi teleponku, yang dengan
sengaja aku beri nada dering yang berbeda, aku mulai merasa kuatir. Aku menjadi
uring-uringan. Aku merindukan suara di ujung telepon sana yang selalu sabar
meski aku marah-marah. Suara yang dengan ajaib bisa membuatku tenang.
Aku yang terbiasa tegas dan tidak
basa basi merindukan kalimat yang terkesan basa-basi itu. Lingkungan kerja yang
cepat membuatku tidak suka dengan hal yang bertele-tele, tapi sekarang aku suka
kalau dia bercerita panjang yang tidak ada urusannya denganku.
Dia yang sederhana bisa membuatku
seperti bukan diriku yang selalu dikenal jutek. Mungkin karena aku menangkap
kalau dia tidak ada niat berbasa-basi tapi memang begitulah cara perhatiannya.
Tiba-tiba terbersit dalam
pikiranku, apakah aku sanggup menghabiskan sisa hidupku dengan pria ini setiap
harinya? Entahlah.. rasa kuatir itu muncul karena aku selalu berpikir kalau aku
orang yang takut berkomitmen. Aku ragu kalau aku sanggup menyesuaikan diriku
jika sudah serumah dan melihat kelakuannya yang seperti itu. SETIAP HARI. Bukan
sejam atau dua jam. SEUMUR HIDUP. Bukan sehari atau ketika Sabtu dan Minggu saja.
Aku ragu pada diriku sendiri. Entahkah aku sanggup membayangkan ada orang lain
yang akan berada di sampingku saat aku bangun, orang yang akan selalu ada di
rumahku dan tidak boleh aku acuhkan. Aku takut, tapi aku juga tidak rela
melepaskannya.
Dan kemudian aku tersadar.. apa
yang sedang aku lakukan? Aku berpikir terlalu jauh. Dia bahkan tidak melamarku.
Dia hanya senang berbicara denganku, sama seperti yang lainnya pun begitu.
Ya selalu begitu. "Berapa
banyak lelaki yang sudah lalu lalang dalam hidupmu tapi tidak ada yang
benar-benar berlabuh karena kamu hanya jadi persinggahan yang menyenangkan,
tapi bukan tempat untuk menetap". Itu yang selalu dikatakan oleh hati kecilku.
Aku saja yang terlalu percaya diri kalau dia akan melamarku, hanya karena
teman-teman yang terus meyakinkanku.
"Bener, Ri. Suwer deh. Aku
ditanyain soal your dream wedding berjam-jam dan detail banget. Your Wedding,
Ri... Apalagi coba kalau bukan dia mau melamar kamu. Nyebelin banget sama
detailnya dia.. sampai masalah warna lampu juga ditanya. Yet, I'm happy karena
itu tandanya dia peduli sama apa yang kamu suka", kata Mila berusaha
meyakinkanku.
"Iya, Ri. Apalagi sih yang
kamu tunggu.. mana ada sih cowo yang mau lakuin hal-hal gila yang suka kamu
minta ke dia kalau bukan karena dia sayang sama kamu", timpal Wildy.
"Iya.. tapi tetap saja, dia
tidak bilang ke aku", bela ku.
"Kalau dia bilang, memang
kamu akan jawab iya?" Tanya Yuli dengan polos.
Aku terdiam. Kembali pikiran
tentang menghabiskan hidup bersama dia terlintas. Aku menghela nafas dalam-
dalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar